MUDIK

MUDIK
SUKABUMI - YOGYAKARTA

Minggu, 28 Desember 2008

DETEKSI KECERDASAN SISWA

DETEKSI KECERDASAN SISWA


A. Pengertian kecerdasan
Inteligensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, malainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendeskripsikan perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektualnya ( Syamsu Yusuf, 2007, hal. 106 ) . Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam mengartikan inteligensi ( kecerdasan ) ini para ahli mempunyai pengertian yang beragam. Diantara pengertian itu adalah :
1. C. P. Chaplin ( 1975 ) mengartikan inteligensi itu sebagai kemampuan mengahadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara tepat dan efektif.
2. Anita E. Woolfolk ( 1995 ) mengemukakan bahwa inteligensi itu meliputii tiga pengertian yaitu : kemampuan untuk belajar, keseluruhan pengetahuan yang diperoleh dan kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya diungkapkan bahwa inteligensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan.
3. Binet ( Sumadi S,. 1984 ) menyatakan bahwa sifat hakikat inteligensi itu ada tiga macam, yaitu : a). kecerdasan untuk menetapkan dan empertahankan ( memperjuangkan ) tujuan tertentu. Semakin cerdas seseorang, akan semakin cakap dia mengkondisikan tujuan, mempunyai inisiatif sendiri tidak menunggu perintah saja. b). kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan tersebut, c). kemampuan untuk melakukan otokritik, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah pernah dubuatnya.
4. Raymon Cattel dkk. ( Kimble dll., 1980 ) mengklarifikasikan inteligensi kedalam dua kategori, yaitu : a). “ Fluid Inteligence”, yaitu kemampuan analisis kognitif yang relatif tidak dipengaruhi oleh pengalaman belajar sebelumnya.; b). “ Crystallized Inteligence”, yaitu ketrampilan-ketrampilan atau kemampuan nalar ( berpikir ) yang dipengaruhi oleh pengalaman belajar sebelumnya.
5. Menurut Wechsler ( dalam : Monks, Knoers, 2002 , hal. 237 ) “ Intelegensi “ adalah suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan seseorang untuk dapat bertindak terarah, berpikir secara baik dan bergaul dengan lingkungan secara efisien.

B. Kecerdasan Intelektual dan pembimbingannya
Menurut Syamsu Yusuf ( 2007 ; 111-113 ) dijelaskan bahwa uraian tentang inteligensi ( kecerdasan ) dalam ukuran kemampuan intelektual atau tataran kognitif terhadap sampel yang mewakili populasinya, dikembangan suatu sistem norma atau ukuran keceerdasan dengan sebaran sebagai-berikut :

IQ
( INTELLIGENCE QUOTION )
KLASIFIKASI
140 - ke atas : jenius
130 – 139 : Sangat cerdas
120 – 129 : Cerdas
110 – 119 : Di atas normal
90 – 109 : Normal
80 – 89 : Di bawah normal
70 – 79 : Bodoh
50 – 69 : Terbelakang ( Imbecile / dan Idiot )
49 – ke bawah : Terbelakang ( Imbecile / dan Idiot )

a). Idiot IQ : 0 – 29
Merupakan kelompok individu terbelakang yang paling rendah. Tidak dapat berbicara ( hanya dapat mengucapkan kata beberapa saja ). Biasanya tidak dapat mengurus dirinya sendiri seperti : mandi, berpakaian, makan dan lain sebagainya. Jadi dalam proses pembimbingannya harus di urus oleh orang lain. Anak seperti ini tinggal di tempat tidur seumur hidupnya. Rata-rata perkembangan inteligensinya sama dengan anak norma umur 2 tahun. Badannya kurang tahan terhadap penyakit sehingga biasanya umurnya tidak lama. Baik di sekolah biasa maupun sekolah luar biasa ( SLB ) anak ini tidak ditemui.

b). Imbecile IQ : 30 – 40
Kelompok ini setingkat lebih tinggi dari idiot. Ia dapat belajar berbahasa, dapat mengurus dirinya sendiri dengan pengawasan yang teliti. Pada kelompok ini dapat diberikan latihan-latihan ringan, tetapi dalam kehidupannya tetap dalam pengawasan orang lain, tidak dapat mandiri. Kecerdasannya sama dengan anak normal umur 3 – 7 tahun. Kelompok ini tidak dapat di didik di sekolah biasa.
c). Debil atau Moron ( mentally handicapped/mentally retarted ), IQ : 50 – 69
Kelompok ini sampai tingkat tertentu dapat belajar membaca, menulis dan membuat perhitungan-perhitungan sederhana, dapat diberikan pekerjaan rutin tertentu yang tidak memerlukan perencanaan dan pemecahan. Banyak anak-anak kelompok ini dibimbing di sekolah-sekolah luas biasa ( SLB ).
d). Kelompok bodoh ( dull / bordeline ), IQ : 70 – 79
Kelompok ini berada di atas kelompok terbelakang dan di bawah kelompok normal. Dalam pembimbingan anak-anak ini secara bersusah payah dengan beberapa hambatan, dapat melaksanakan sekolah lanjutan tingkat pertama ( SLTP ) tetapi sukar sekali untuk dapat menyelesaikan diakhir-akhir kelasnya.
e). Normal rendah ( below avarage ), IQ : 80 – 89
Kelompok ini termasuk kelompok normal, rata-rata atau sedang pada tingkat terbawah, mereka agak lambat dalam belajarnya. Dalam pembimbingannya merteka dapat menyelesaiakn sekolahnya di tingkat SLTP tetapi agak kesulitan untuk menyelesaikan pendidikan ke jenjang SLTA.
f). Normal sedang, IQ : 90 – 109
Kelompok ini termasuk kelompok normal atau rata-rata. Mereka termasuk kelompok terbesar populasi penduduknya.
g). Normal tinggi ( above average ), IQ : 110 – 119
Kelompok ini termasuk kelompok individu yang normal hanya berada pada tingkat yang tinggi.
h). Cerdas ( superior ), IQ : 120 – 129
Kelompok ini sangat berhasil dalam pekerjaan sekolah / akademik. Mereka menonjol dalam kelompok biasa.
i). Sangat cerdas ( very superior / gifted ), IQ : 130 – 139
Anak-anak pada kelompok ini lebih cakap dalam membaca, mempunyai pengetahuan tentang bilangan yang sangat baik, perbendaharaan kata yang sangat luas dan cepat memahami pengertian yang asbtrak. Pada umumnya faktor kesehatan, kekuatan dan ketangkasan lebih menonjol daripada anak normal.
j). Genius IQ : 140 – ke atas
Kelompok ini kemampuannya sangat luar biasa. Mereka biasanya memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dan menemukan sesuatu yang baru, walaupun tidak sekolah. Kelompok ini berada dalam semua ras dan bangsa, dalam semua tingkat ekonomi, baik laki maupun perempuan.
Terkait dengan kecerdasan intelektual peserta didik tersebut maka dalam pembimbingan di sekolah tentunya harus diperhatikan / disesuaikan dengan tingkat IQ masing-masing invividu. Karena dalam hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan dan keberhasilan peserta didik tersebut dalam melaksanakan tugas perkembangan pribadinya. Pembimbingan tidak hanya diberikan kepada mereka yang memang mempunyai IQ lemah, tetapi yang cerdaspun perlu bimbingan. Mereka yang mempunyai IQ tinggi hanya akan berhasil dan sukses dalam hidupnya ( menjalankan tugas perkembangannya ) apabila didorong oleh aspek-aspek yang lain. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Terman (dalam : Monks, Knoers, 2002 , hal. 247 ), bahwa kemampuan intelektual yang tinggi hanya bisa menghasilkan prestasi yang istimewa bila bekerja sama dengan keteguhan, kepercayaan diri serta lingkungan yang positif. Jadi dalam hal ini perlu mensinergikan antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain. Sudah selayaknya mulai ditinggalkan paradigma lama yang menyatakan bahwa orang yang mempunyai IQ tinggi ( cerdas ) pasti akan suskses hidupnya, sukses dalam menjalankan tugas-tugas perkembangan hidupnya.. Apalagi adanya pengaruh budaya yang semakin komplek, pengaruh kehidupan sosial masyarakat yang semakin beragam. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa cerdas merupakan faktor / modal yang sangat penting.

C. Kecerdasan Emosional dan Pembimbingannya
Terdapat beberapa versi terkait dengan pengertian, “ emosi”. Berikut ( dalam Syamsu Yusuf ) beberapa rujukan yang dapat kita gunakan untuk mengkorek lebih jauh nantinya tentang pengertian ,” kecerdasan emosional”.
a). Menurut English and english, emosi adalah,” A complex feeling state accompained by characteristic motor and glandulas activities” ( suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karateristik kegiatan kelenjar dan motoris ).
b). Menurut Sarlito Wirawan Sarwono bahwa emosi merupakan “ setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah ( dangkal ) maupun pada tingkat yang luas ( mendalam ).
Lebih jauh dijelaskan bahwa kecerdasan emosional ini merujuk pada kemampuan-kemampuan mengendalikan diri, memotivasi diri dan berempati. Secara jelas unsur-unsur kecerdasan emosional ini dapat disimak pada tabel berikut :

ASPEK
KARATERISTIK PERILAKU

1. Kesadaran diri
a. Mengenal dan merasakan emosi diri
b. Memahami penyebab perasaan yang timbul
c. Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan

2. Mengelola emosi
a. Bersikap toleran terhadap frustasi dan mampu mengelola amarah secara lebih baik
b. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi
c. Dapat mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain
d. Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga
e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi ketegangan jiwa ( strees )
f. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam pergaulan

3. Memanfaatkan emosi secara produktif
a. Memiliki rasa tanggung-jawab
b. Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan
c. Mampu mengendalikan diri dan tidak bersifat impulsif

4. Empati
a. Mampu menerima sudut pandang orang lain
b. Memiliki sikap empati atau kepekaan terhadap perasaan orang lain
c. Mampu mendengarkan orang lain

5. Mermbina hubungan
a. Memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menganalisis hubungan dengan orang lain
b. Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain
c. Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
d. Memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul dengan teman sebaya
e. Memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain
f. Memperhatikan kepentingan sosial ( senang menolong orang lain ) dan dapat hidup selaras dengan kelompok
g. Bersikap senang berbagi rasa dan bekerja sama
h. Bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain

Bila kita perhatikan dalam interaksi kehidupan sosial di masyarakat Peserta didik ( anak / siswa ) yang cerdas dan kurang cerdas menunjukan sikap dan perilaku yang berbeda. Peserta didik ( anak / siswa ) yang kurang cerdas memperlihatkan pengendalian emosional yang kurang dibanding dengan peserta didik lain yang seusia yang lebih cerdas. Oleh karena itu dalam pembimbingan di sekolah guru harus memperhatikan secara khusus terhadap peserta didik yang tingkat kecerdasannya kurang, tanpa mengabaikan peserta didik yang cukup cerdas. Dengan melihat unsur-unsur kecerdasan emosional pada tabel diatas guru juga dapat mengkorelasikan antara aspek yang diperlukan dan karateristik yang diharapkan.
Pada masa remaja juga dapat dikatakan merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Menurut Monks, Knoers, ( 2002 , hal. 288 ) batasan usia remaja di antara ( 12 – 21 ) tahun dengan perincian ( 12 – 15 ) tahun masa remaja awal, ( 15 – 18 ) tahun masa remaja pertengahan, dan ( 18 – 21 ) tahun masa remaja akhir. Masa pubertas meliputi masa remaja awal dan berisi perubahan fisik seperti percepatan pertumbuhan dan timbulnya seksualitas. Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual mempengaruhi perkembangan emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan baru yang alaminya, misal : cinta, rindu dan perasaan untuk berkenalan lebih intim kepada lawan jenis. Pada masa remaja awal perkembangan emosinya juga menunjukan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya betrsifat negatif dan temperamental ( mudah marah / tersinggung, mudah sedih / murung ). Pada remaja akhir sudah dapat mulai mengendalikan emosinya.Implikasinya terhadap pembimbingan guru tentunya harus dapat menciptakan iklim yang kondusif ( harmonis, saling percaya, saling menghargai, dan penuh tanggung-jawab ) dalam lingkungan sekolah maupun keluarga dalam kerjasamanya dengan pihak orang tua. Dengan situasi ini tentunya peserta didik akan cepat memperoleh kematangan emosionalnya, yang merupakan tugas perkembangan yang amat sulit bagi remaja anak usia sekolah. Kematangan emosi ini ditandai dengan :
1). Adekuasi emosi ( cinta kasih, simpati ), altruis ( senang menolong orang lain ), respek ( sikap hormat atau menghargai orang lain ), dan ramah.
2). Mengendalikan emosi : tidak mudah tersinggung, tidak agresif, bersikap optimis dan tidak pesimis ( putus asa ), dan dapat menghadapi situasi frustasi secara wajar.
Dengan demikian berhasil atau tidaknya guru dalam mengadakan pembimbingan di sekolah terhadap perserta didik dapat dilihat pada indikator di atas.

D. Kecerdasan spiritual
Terkait dengan kecerdasan ini dapat kita pahami, maksudnya adalah sikap intelektualitas peserta didik ( remaja ) dalam mensikapi bahwa dia sebagai makhluk Tuhan ( Hablumminn-Allah ), disamping sebagai makhluk sosial ( Habluminannas ). Kecerdasan insan dalam mengembangkan keimanan, ketaqwaan terhadap sang pencipta, dan dalam menggali nilai-nilai kehidupan agamanya menjadi faktor paling penting. Karena misi dari ibadah mempunyai tugas mulia yaitu untuk memperoleh ketenangan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kenyamanan hidup, baik di dunia maupun diakhirat. Pemahaman yang mendalam tentang konsep tersebut diatas maka sekolah dapat memanfaatkannya dalam pembimbingan peserta didik. Upaya pembimbingan peserta didik terkait dengan kegiatan ini dapat dilaksanakan / direalisasikan melalui upaya :
a). Sekolah ( Kepala sekolah, guru dan personila lainnya ) mempunyai komitmen untuk bersama-sama peduli terhadap penanaman nilai-nilai keagamaan di sekolah. Baik itui melalui
• Pembelajaran di kelas
• Pembiasaan yang diaplikasikan dalam bentuk kegiatan rutin
• Pemberian contoh tentang sikap, tutur kata, perilaku cara berpakian dan ibadah.
b). Guru agama sebaiknya mempunyai kepribadian yang terpuji ( akhlakul karimah ) dan dapat mengemas pembelajaran agamanya menjadi pejaran yang bermakna bagi tugas perkembangan peserta didik
c). Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah, misal : peringatan hari-hari besar, pesantren kilat dan tugas keagamaan lain
d). Mengadakan ( Sesekali ) forum diskusi keagamaan
f). Sekolah menyediankan sarana ibadah ( masjid atau mushola ) yang memadai, dan tentunya sekolah mampu mengkondisikan untuk memanfaatkannya semaksimal dan se-efektif mungkin.
g). Sekolah dapat bekerja sama dengan : orang tua / wali atau para tokoh-tokoh agama ( ulama ) setempat dalam membimbing peserta didik untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketaqwaa-Nya.
h). Sekolah sesekali waktu juga dapat bekerja sama dengan pondok pesantren setempat dalam menggali kehidupan yang agamis. Misal : kolaborasi peringatan hari besar
i). Guru – guru dapat mengkolaborasikan antara nilai-nilai agama dengan pelajaran yang diampunya. Misal : untuk pelajaran biologi ditekankan pada siswa bahwa semua makhluk ( hidup atau mati ) adalah ciptaan Tuhan.
j). Sekolah dapat mengadakan segala macam jenis kegiatan lomba antar ( kelas atau sekolah terdekat ). Misal : Dacil / Da’i kecil, baca-tulis Al-qur’an, Adzan, Busana Muslim, dll
k). Sekolah dapat pula melaksanakan Tabliqh Akbar ( apabila mampu ) dalam sesekali waktu peringatan hari besar
l). Mengadakan kegiatan sholat dhuhur bersama di sekolah, secara bergiliran kelas ( untuk sekolah yang tempatnya tidak mencukupi ).
m). Sekolah dapat menganjurkan untuk berpakaian muslim di sekolah untuk hari-hari tertentu ( misal : hari jum’at ).
n). Mengadakan praktek penyembelihan hewan kurban di sekolah ( jika mampu ).
o). Membantu teman peserta didik lain yang sedang mengalami kesusahan, dengan tujuan menumbuhkan nilai-nilai manusiawi pada peserta didik.
p). Mengunjungi peserta didik lain ( dipandu oleh guru ) yang sedang terkena musibah.
q. Mengadakan kegiatan remaja mesjid, dll.


Agus supranto, S.Pd
Guru SMP Negeri 1 Kadudampit Kabupaten, Sukabumi – Jawa Barat
Sukabumi : ( 0266 ) 238031 / ( 0266 ) 232867
HP. : 085 218 273 390
Catatan : Anda tertarik dengan makalah diatas ? tinggalkan komentar and E-mail.

PARADIGMA LAMA - BARU GURU MATEMATIKA

PARADIKMA LAMA DAN PARADIGMA BARU
GURU MATEMATIKA


Yang dimaksud paradigma disini adalah contah gambaran, bagaimana guru matematika selama ini melaksanakan proses pembelajaran dan bagaimana seharusnya guru matematika melakukan proses pembelajaran.. Hal ini diungkapkan supaya kita sebagai guru matematika dapat instropeksi dan merefleksikan diri untuk bersedia mau memperbaharui diri terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan selama ini. Paradigma lama yang dimaksud adalah :
a. peran guru
guru dalam hal ini mendominasi kelas, yang berkuasa dan siswa dianggap sebagai obyek yang dikuasasi, diatur diarahkan, dibimbing. Semua ide-ide, informasi, pertanyaan, evaluasi dan penilaian berpusat pada guru. Guru hendak memindahkan semua yang dimiliki, jadi memberikan pengetahuan kepada siswa tidak membangun pengetahuan.

b. Perlakuan siswa
Semua siswa dianggap sama ( walaupun kenyataannya masing-masing individu berbeda ), baik dari bakat, minat, kemampuan, kesiapan belajar ,dll. Dalam uji kemampuan semua siswa diberi soal dengan tingkat kesukaran yang sama, dengan harapan semua siswa maju bersama.

c. Pertanyaan
Hampir semua pertanyaan datangnya dari guru, siswa hanya menjawab dan menjawab. Sebagaian besar pertanyaan hanlah hanya tes ingatan ( mengingat rumus ).

d. Latihan soal
Soal-soal yang diberikan hanyalah penerapan dari rumus, tidak memberikan pancingan kepada siswa untuk berpikir. Yang penting adalah jawaban.

e. Interaksi
Interaksi belajar satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Siswa hampir tidak diberikan kesempatan memberikan umpan balik kepada guru. Sehingga guru dianggap satu-satunya yang paling pintar di kelas tersebut.

f. Sumber belajar
Sumber belajar yang ada hanyalah guru dan buku itupun sedikit / tidak semua siswa punya buku sumber.

g. Alat bantu ( media ) belajar
Alat bantu yang digunakan biasanya hanya talk dan chalk. Guru biasanya kurang kreatif, malas, apalagi berinovatif untuk berprakarsa membuat alat bantu atau media yang sesuai.

h. Variasi kegiatan
Kegiatan belajar biasanya hanya : Rumus – latihan soal – soal. Mengikuti urutan baku yang ada dalam buku ( sesekali mencatat, bercerita, bertanya, latihan soal ) merupakan rutinitas setiap harinya.

i. Pengelolaan kelas
Pembelajaran kebanyakan dilakukan secara klasikal atau kelompok besar. Hampir tidak pernah dicoba untuk melaksanakan pembelajaran kooperatif. Jadi kemampuan individu yang bervariasi terabaikan dan kurang diperhatikan.

j. Penilaian
Penilaian dan bentuk soal kurang variatif. Biasanya hanya ulangan harian dan ulangan umum

Mensikapi dari potret guru matematika diatas yeng penting sekarang adalah bagaimana kita sebagai guru matematika melakukan perubahan ( hijrah ) terhadap paradigma lama pembelajaran matematika ke paradigma baru, untuk disesuaikan dengan pembelajaran yang sesuai dengan keadaan saat ini. Bagaimana potret pembelajaran matematika yang sesuai dengan keadaan saat ini ? adalah pembelajaran yang inovatif. Menurut Dr. Marsigit ( 2008 : Nilai Matematika dan Nilai luhur Bangsa ) dikemukakan bahwa ,” Transfer of knowlwdge “, dari guru ke murid telah dianggap sebagai paradigma yang kurang sesuai denga hakekat mendidik. Lebih lanjut dijelaskan oleh beliau, sebagai alternatifnya dikembangkan paradigma baru yaitu “ Cognitive-development” sebagai upaya untuk mengembangkan potensi sibelajar. Hal tersebut tentunya dapat dipahami bahwa pembelajaran progresif ( inovatif ) – lah yang dimaksud. Menurut Beliau pembelajaran inovatif memiliki ciri-ciri :
a. mengadapsi ciri-ciri kedaerahan ( otonomi )
b. memeberikan pendidikan yang bulat ( jasmaniah, rokhaniah, sosial, emosional )
c. mendidik untuk memecahkan soal-soal hidup
d. pendidikan untuk semua anak
e. turut serta dalam pembudayaan
f. siswa aktif
g. pelajaran dipadukan
h. berorientasi kepada kehidupan
i. menggunakan bermacam-macam cara untuk menilai murid
j. mengembangkan alat bantu belajar
k. pembelajaran kelompok / invividual
l. tidak begitu formal
m. materi sesuai dengan kebutuhan individu
n. murid menemukan dan membangun knowledge struktur pengetahuan
o. mendorong kerja sama
p. kerja sama guru – murid / kooperatif
q. realitas hidup / mengakui perbedaan
r. hasil adalah juga termasuk prosesnya
s. motivasi belajar bersifat internal
t. kesadaran dan tidak ada hukuman
u. jawaban salah bernilai pedagogis
v. matematika sebagai proses berpikir
w. pendidikan merupakan kebutuhan
x. siswa perlu tumbuh dan berkembang
y. metode mengajar bervariasi / fleksibel
z. kreativitas guru dan lingkungan bermanfaat untuk mengembangkan alat
aa. sabar dan menunggu sampai siswa dapat memahami konsep matematika

Untuk melaksanakan itu semua / menjadi guru yang inovatif maka diperlukan sosok guru yang diharapkan mau untuk melakukan perubahan. Sudahkah guru-guru matematika di Indonesia melakukan perubahan ? Bagaimana kalau tidak melakukan perubahan ? Yang jelas dimulai dari diri kita masing-masing. Selamat berjuang……. 1

Agus supranto, S.Pd
Guru SMP Negeri 1 Kadudampit Kabupaten, Sukabumi – Jawa Barat
Sukabumi : ( 0266 ) 238031 / ( 0266 ) 232867
HP. : 085 218 273 390

Senin, 08 Desember 2008

USAHA USAHA MENINGKATKAN PBM MATEMATIKA

Terkait dengan pencerahan yang telah kami peroleh melalui pendidikan sertifikasi dan dalam upaya meningkatkan proses pembelajaran menuju kualitas kedua matematika, saya berusaha ( untuk hijrah ) mengubah paradigma cara belajar matematika. Hal tersebut saya laksanakan pertama-tama dalam hal :




  1. Melaksanakan kegiatan .” Klinik Matematika”, di sekolah


Kegiatan klinik matematika yang sudah berjalan tadinya dilaksanakan untuk melayani siswa yang mempunyai masalah terhadap matematika, tetapi dalam perkembangannya juga melayani siswa yang gemar matematika ( bagi mereka yang ingin memperoleh pemahaman lebih jauh). Kegiatan klinik ini dilaksanakan sebagai bentuk kegiatan Ekstrakurikuler.




  1. Mengadakan pendekatan ( sesekali ) pada peserta didik


Kepada peserta didik yang sungkan bertanya, takut, atau malu diadakan pendekatan ( diajak bicara – pola keakraban ) walaupun pelaksanaannya diluar jam pelajaran.




  1. Model pembelajaran


Mencobakan menerapkan pembelajaran berkelompok ( cooperatif learning ) dengan berbagai tipe seperti : STAD, Jigsaw, TAI, NHT, dll. Tujuannya pembelajaran yang menyenangkan dan tidak monoton.




  1. Stratetgi pembelajaran


Mencoba memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan mempelajari suatu konsep sendiri / membangun pengetahuannya sendiri, dengan menghindari “ transfer of learning”, tetapi mencoba, “lesson study”.




  1. Pendekatan pembelajaran


Mencoba menggunakan pendekatan RME atau CTL, walaupun tidak setiap saat. Yang penting peserta didik belajar aktif, kreatif dan menyenangkan.




  1. Menerapkan pembelajaran teridentifikasi


Maksudnya kita mengidentifikasi peserta didik yang pandai ( tuntas ) untuk membelajarkan siswa lain ( tutor sebaya ) variasinya dengan menggunakan LKS.




  1. Mengarahkan peserta didik untuk “ learning by doing”’ atau “ doing mathematics”’ dan menghindari “ telling mathematics”.



  2. Menciptakan ( sesekali ) cognitif conflict.


Maksudnya sesekali ciptakan / munculkan, konflik / pertanyaan dalam diri peserta didik, tujuannya untuk memperkaya pemahaman.


Contoh : Diketahui x = 1


Karena x = 1 maka x= 1, sehingga x= x ……………. (1)


Akibatnya ( x- 1 ) = x – 1 ( x-1 )( x+1 ) = x -1 …… (2)


Dengan aturan pencoretan diperoleh : x + 1 = 1 ………… (3)


Sehingga 1 + 1 = 1 …………………………………. (4)


Jadi 2 = 1 ……………………………………. (5)


Siswa tentu kaget, kenapa 2 = 1. Kita dapat meminta siswa untuk berpikir, kritis, cermat dan teliti.




  1. Mengajukan soal-soal open – ended dan divergen.



  2. Dan lain-lain.