MUDIK

MUDIK
SUKABUMI - YOGYAKARTA

Rabu, 07 Januari 2009

Refleksi : Profesi Sebagai Guru ( Pendidik )

Pada hari ini selasa, 6 Januari 2009 penulis sedang mengikuti pendidikan sertifikasi guru melalui jalur pendidikan. Di akhir semester satu pendidikan ini, marilah kita renungkan sejenak profesi sebagai guru. Banyak catatan-catatan yang perlu kita garis bawahi terkait dengan profesi kita sebagai guru. Dari hasil pencerahan melalui pendidikan ini penulis dapat ungkapkan, model atau type guru yang diharapkan pada saat ini kalau boleh disebut guru yang ideal. Dia adalah sosok guru yang diidolakan oleh peserta didiknya, kedatangannya sangat diharapkan dan ditunggu. Kedatangannya dapat menghangatkan suasana, sehingga mengajarnya mudah diterima. Peserta didik menjadi termotivasi, gairah, semangat, kreatif dan inovatif. Guru yang cerdas ( intelektual, emosional, dan spiritualnya ) sehingga dalam memperlakukan peserta didik sebagai yang diutamakan, sesuatu yang berharga. Dia mengajar dengan tulus, ihklas, melayani dengan sepenuh hati, tanpa mengharapkan imbalan dalam hatinya, " Hanya memberi, Tak harap kembali ". Guru berperangai murah senyum, sikap dan perilakunya pantas untuk, " digugu lan ditiru ( pantas diteladani atau dicontoh )".Guru yang mengedepankan konsep dalam hidupnya, " Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mbangun karso, dan Tut wuri handayani ". Untuk itulah kita sedih dan prihatin tatkala mendengar berita-berita miring ( negatif ) akhir-akhir ini yang hangat beredar di kalangan masyarakat. Ditambah dengan adanya kejadian-kejadian KDS ( Kekerasan Dalam Sekolah )yang ditayangkan oleh media cetak maupun media elektronik, hal ini tentunya semakin menurunnya pamor guru. Untuk itulah saatnya sekarang kita tinggalkan pola-pola pendidikan warisan jaman penjajah, yang penuh dengan kekerasan, kekejaman, jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kita ganti dengan kasih sayang. Guru yang bersifat dinamis dan inovatif mengikuti perkembangan IPTEK dan selalu mengadakan pembaharuan, selalu ingin membuat sesuatu menjadi lebih baik. Sudahkah karakter tersebut di atas kita penuhi ? Yang jelas mulai saat inilah kita harus hijrah untuk mau mengubah pola pembelajaran kepada peserta didik kita. Moment ini kita gunakan sebaik-baiknya untuk merenungkan tugas profesi kita sebagai guru. Profesi yang sangat mulia, " bergaji tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat sana ( Insya Allah )". Masa depan bangsa, agama dan negara terletak bagaimana guru ( kita ) memberikan arahan kepada peserta didik. Pembelajaran terhadap nilai-nilai yang bermanfaat dalam hidupnya akan dijadikan mereka menjadi generasi penerus bangsa yang dapat dibanggakan. Kita rintis, " sedikit demi sedikit, lama - lama kian menjadi bukit ". Namun demikian, hal yang masih tumpang yang dapat digunakan sebagai bahan catatan atau renungan, terkait dengan pendidikan menurut saya adalah :
Pertama : belajar tuntas. Menurut hemat penulis peserta didik dikatakan tuntas pada KD ( Kompetensi Dasar ) tertentu jika telah memperoleh kualitas nilai sama dengan atau lebih dari KKM ( Kriteria Ketuntasan Minimal )yang telah ditetapkan sebelumnya. Jadi, apabila peserta didik telah dinyatakan tuntas terhadap semua KD otomatis lulus tanpa embel.... embel harus mengikuti ujian-ujian yang lainnya, termasuk ulangan umum ( Ulum ) maupun Ujian Nasional ( UN ). Apabila belajar tuntas dilaksanakan dengan sepenuhnya , maka menurut hemat penulis diberlakukan adanya pembelajaran , " Sistem Kerdit Sermester ( SKS )".
Kedua : Syarat kelulusan. Selama ini yang menjadi salah-satu syarat lulus/tidaknya peserta didik dalam menyelesaikan suatu jenjang pendidikan adalah Ujian Nasional ( UN ).Jadi, walaupun seorang peserta didik telah tamat dan tuntas untuk seluruh KD belum tentu lulus, kalau nilai UN-nya masih di bawah ketentuan. Menurut hemat penulis pula, dengan adanya sistem belajar tuntas UN sebaiknya tidak perlu dijadikan syarat kelulusan, karena hal ini akan merugikan peserta didik. tetapi UN tetap dilaksanakan, dengan tujuan digunakan sebagai gambaran kualitas pendidikan secara umum terhadap lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia.Apabila kedua hal tersebut diatas dilaksanakan niscaya hasil belajar peserta didik benar-benar mencerminkan dari kualitas pembelajaran yang telah dilaksanakan ( kualitas sumber daya ) peserta didik itu sendiri.Dengan kata lain, secara kuantitatif angka-angka yang diperoleh peserta didik benar-benar menggambarkan kualitas peserta didik secara keseluruhan ( cerdas : intelektual, emosional, dan spiritualnya ).
Hal di atas mudah-mudahan dapat menjadikan catatan oleh para stake holder pendidikan untuk menjadi bahan renungan, karena dilema bagi para ujung tombak pendidikan ( guru ). Di satu sisi pembelajarn menekankan proses, proses membangun pengetahuan baru pada diri siswa, di sisi lain menekankan kepada hasil. Apapun kebijakkannya, yang jelas pemerintah mempunyai niat yang baik dan tulus untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia ( SDM ). Mudah-mudahan SDM bangsa Indonesia terus meningkat dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Amiin.

4 komentar:

  1. Saya masih agak khawatir dengan istilah Bapak "guru hanya memberi". Jangan-jangan maksud guru memberi, ditanggapinya sebagai pemberian yang tidak cocok atau mungkin menjemukan. Maka silahkan Bapak simak artikel saya terakhir yang berjudul "Elegi guru menggapai batas" (Dosen: Dr. Marsigit)

    BalasHapus
  2. Diucapkan terima kasih kepada Bpk. Dr. Marsigit atas koreksinya. Saya hanya ingat waktu TK dulu, Falsafah guru, yang dituangkan dalam nyanyian : " Hanya memberi tak harap kembali, bagaikan sang surya menyinari dunia". Guru dalam mendidik siswa harus ihklas, seperti lilin yang lilin sendiri berkorban memberi penerangan ruang sekitarnya. Sekali lagi hatur nuhun, koreksinya.Mau ngeprint dulu ya Pak artikel, " Elegi guru menggapai batas ".

    BalasHapus
  3. Itulah Pak Agus. Berpikir kritis memang salah satunya adalah berani merevitalisasi paradigma. Tetapi jangan salah paham. Revitalisasi paradigma bukan berarti membuang atau mengganti, tetapi mendudukan sesuai ruang dan waktunya. Misalnya tentang filsafat lilin, maka yang diangkat adalah aspek penerangan dan pencerahan dari suatu sumber, misalnya guru. Tetapi ketika kita perlu menghighlight interaksi antara guru dan siswa maka kita memerlukan paradigma yang sesuai. Demikianlah karena memang dunia adalah multifacet. Melalui Blog ini, Pak Agus, saya dan teman-teman yang lain ternyata juga sedang mengembangkan pikiran kritis. Itu artinya kita dalam proses dan terlibat proses menuju kualitas kedua pendidikan. Selamat berjuang. Amien (Dosen: Dr. Marsigit)

    BalasHapus
  4. Wah,... terima kasih telah meluangkan ke blog kami, juga masukan-masukannya.
    Memang kita harus berpikir kritis, mengembangkan, bahkan membudayakan kepada anak didik kita. Supaya peserta didik kita menjadi peserta didik yang berkualitas. Sesuai harapan bangsa ini. Amien.

    BalasHapus